- October 25, 2016
- Posted by: Taxnesia Team
- Categories: Domestic Tax, Domestic Tax Dispute, Featured, General Tax
Dapatkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menentukan definisi “jenis jasa lain” berdasarkan Pasal 23 (2) dari UU PPh dan dapatkah definisi tersebut melanggar hak konstitusi Wajib Pajak dan mengakibatkan kerugian dari Wajib Pajak? Hal ini lah yang menjadi dasar judicial review, atau disebut juga sebagai uji materiil, UU PPh oleh Wajib Pajak.
Judicial Review
Wajib pajak, PT Cotrans Asia, beranggapan bahwa penentuan definisi jenis jasa lain sesuai Pasal 23 (2) dari UU PPh oleh DJP menyebabkan kerugian hak konstitusional wajib pajak atau memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian bagi wajib pajak sebagai perusahaan dalam pengiriman layanan.
Pasal 23 (2) UU PPh menetapkan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Wajib Pajak telah menyatakan kepada Majelis bahwa pasal 23 (2) UU PPh harus diuji menggunakan pasal 22A, 28D, 28I Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, antara lain, bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dari perlakuan diskriminatif dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif.
Selanjutnya, argumen wajib pajak juga menyebutkan beberapa hal termasuk fakta bahwa DJP tidak memiliki hak untuk menentukan karakteristik satu jasa, sebagai contoh jasa yang mengikuti UU lainnya, misalnya UU Pelayaran sehingga DJP harus mengikuti UU lainnya dan peraturan lainnya dalam penentuan karakteristik atau definisi satu jasa dan tidak boleh melanggar UU lainnya.
Perbedaan penafsiran definisi yang ada di dalam UU perpajakan sering kali menimbulkan sengketa pajak di lapangan antara wajib pajak dengan DJP.
Pendapat Pemohon Judicial Review
Uji materiil diajukan karena frasa “jenis jasa lain” yang ada di bawah Pasal 23 ayat (2) UU PPh tersebut memiliki ruang lingkup yang terlalu luas serta mengandung bermacam-macam pengertian atau multitafsir sehingga berpotensi merugikan para pelaku usaha di bidang jasa angkutan laut dalam negeri yang menyediakan jasa pemindahan barang/muatan (transshipment). Padahal, jasa pengangkutan di laut merupakan objek pajak final PPh Pasal 15 yang tarifnya lebih rendah dari pada Pasal 23. Pemohon berpendapat bahwa haknya untuk menerapkan PPh Pasal 15 sebagai perusahaan pelayaran telah dilanggar karena adanya penentuan definisi jenis jasa lain oleh DJP.
Pemohon menganggap jasa transhipment batubara dari tempat penimbunan ke kapal termasuk lingkup perusahaan pelayaran internasional, maka atas pembayaran imbalan jasa transhipment kepada beberapa BUT (WP Luar Negeri) pemohon telah memotong PPh final berdasar ketentuan Pasal 15 UUPPh 1994 juncto KMK- 417/KMK.04/1996 sebesar 2,64%,
Pendapat Pemerintah
Pemerintah berpendapat bahwa pemajakan atas penghasilan tidak didasarkan pada bidang usahanya, tetapi pada jenis penghasilannya. Oleh karena itu, dimungkinkan atas penghasilan yang berasal dari satu bidang usaha yang sama dapat dilakukan pemotongan/pemungutan dengan tarif yang berbeda, tergantung jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajaknya.
Beberapa pendapat saksi ahli yang diajukan oleh pemerintah juga menyatakan bahwa pajak dipungut dengan UU adalah manifestasi bahwa pajak dipungut atas persetujuan rakyat. Apabila tiap jasa lain itu harus diatur dengan dari UU, maka harus ada banyak UU yang dibuat.
Jika frasa “jenis jasa lain” dihapus maka akan membatasi objek pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa menjadi closed list hanya terbatas pada 4 jenis saja, yaitu jasa teknik, manajemen, konstruksi dan jasa konsultan. Hal ini justru bertentangan dengan komprehensivitas konsep objek pajak Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan mempersempit cakupan objek withholding tax sebagai sarana pemungutan pajak paling handal dan efektif diterapkan di masyarakat yang umumnya kurang patuh hukum pajak.
Kesimpulan
Majelis Hakim berpendapat, diantaranya, bahwa Pasal 23 tersebut tidak dapat dikatakan sangat luas, karena norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” dibatasi oleh norma yang terdapat pada frasa “sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2”. Dengan norma yang terdapat pada frasa terakhir ini maka Menteri Keuangan tidak bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh norma dalam Undang-Undang a quo sendiri. Dengan perkataan lain pengaturan yang diperintahkan oleh Undang- Undang kepada Menteri Keuangan hanya sebatas merinci hal yang telah secara tegas ditentukan oleh Undang-Undang manakala dalam dunia praktisnya terjadi perkembangan.
Judicial Review ini dimenangkan oleh pemerintah sehingga jasa pemindahan barang/muatan (transshipment) yang dilakukan perusahaan pelayaran akan tetap tergolong ke dalam jasa yang dipotong PPh Pasal 23.
Penulis : Andreas Adoe / Nurindra Rusmana